CONTOH KASUS AMDAL KAWASAN LINGKUNGAN INDUSTRI KECIL DI SEMARANG. KOMPAS, 2 AGUSTUS 2002
Pelaku usaha dan pemerintah daerah dinilai masih mengabaikan masalah
lingkungan. Hal ini terlihat dari masih adanya kawasan industri di
Semarang yang
beroperasi tanpa terlebih dahulu memenuhi kewajiban stu di Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Selain itu, sejumlah industri di
Semarang juga masih banyak yang belum secara rutin, yaitu enam bulan
sekali, menyampaikan laporan kepada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Daerah (Bapedalda) Semarang. “Kalau sebuah kawasan industri sudah
beroperasi sebelum melakukan studi Amdal, Bapedalda tidak bisa berbuat
apa-apa.
Kami paling hanya bisa mengimbau, tapi tidak ada tindakan apa pun
yang bisa kami lakukan. Terus terang, Bapedalda adalah instansi yang
mandul,” kata Mohammad Wahyudin, Kepala Sub-Bidang Amdal, Bapedalda
Semarang, Kamis (1/8), di Semarang. Wahyudin menceritakan, kawasan
industri di Jalan Gatot Subroto, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang,
misalnya, sejak beroperasi dua tahun lalu hingga saat ini belum
mempunyai Amdal.
Padahal, menurut Wahyudin, salah satu syarat agar sebuah kawasan
industri bisa beroperasi ialah dipenuhinya kewajiban melaksanakan studi
Amdal. “Bapedalda berkali-kali menelpon pengelola kawasan industri
tersebut, menanyakan kelengkapan dokumen Amdal mereka. Namun, sampai
sekarang, jangankan memperoleh jawaban berupa kesiapan membuat studi
Amdal, bertemu pemilik kawasan itu saja belum pernah,” ujarnya. Wahyudin
menyayangkan sikap pihak berwenang yang tetap memberikan izin kepada
suatu usaha industri atau kawasan industri untuk beroperasi walau belum
menjalankan studi Amdal.
Menurut dia, hal ini merupakan bukti bahwa bukan saja pengusaha yang
tidak peduli terhadap masalah lingkungan, melainkan juga pemerintah
daerah. Sikap tidak peduli terhadap masalah lingkungan juga ditunjukkan
sejumlah pemilik usaha industri ataupun kawasan industri dengan tidak
menyampaikan laporan rutin enam bulan sekali kepada Bapedalda. Wahyudin
mengatakan, kawasan industri di Terboyo, misalnya, tidak pernah menyampa
ikan laporan perkembangan usahanya, terutama yang diperkirakan
berdampak pada lingkungan, kepada Bapedalda.
Hal serupa juga dilakukan pengelola lingkungan industri kecil (LIK)
di Bugangan Baru. Keadaan tersebut, menurut Wahyudin, mengakibatkan
Bapedalda tidak bisa mengetahui perkembangan di kedua kawasan industri
tersebut. Padahal, perkembangan sebuah kawasan industry sangat perlu
diketahui oleh Bapedalda agar instansi tersebut dapat memprediksi
kemungkinan pencemaran yang bisa terjadi. Ia menambahkan, industri
kecil, seperti industri mebel, sebenarnya berpotensi menimbulkan
pencemaran lingkungan. Namun, selama ini, orang terlalu sering hanya
menyoroti industry berskala besar.
(Kompas, 2 Agustus 2002)
Bab II
Analisa Kasus
Aspek Hukum Perlindungan kawasan industri di Semarang dari Pencemaran
Limbah Pengelolaan lingkungan adalah upaya terpadu untuk melestarikan
fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan,
pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan
pengendalian lingkungan hidup (pasal 1 angka 2 UUPLH). Secara umum
Pengelolaan secara terpadu menghendaki adanya keberlanjutan
(sustainability) dalam pemanfaatan. Sebagai kawasan yang dimanfaatkan
untuk berbagai sektor pembangunan, wilayah ini memiliki kompleksitas
isu, permasalahan, peluang dan tantangan.
Terdapat beberapa dasar hukum pengelolaan kawasan industri yaitu:
1) UU No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumber daya Alam dan Ekosistemnya.
2) UU No. 24 tahun 1992, tentang Penataan Ruang.
3) UU No. 23 tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
4) UU No. 22 tahun 1999, tentang Pemerintahan Daerah.
5) PP No. 69 tahun 1996, tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk
dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang.
6) Keputusan Presiden RI No. 32 tahun 1990, tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.
7) Permendagri No. 8 tahun 1998, tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah.
8) Berbagai Peraturan Daerah yang relevan.
Pencegahan pencemaran dari kawasan industri diatur dlm UU, seperti terlihat dalam Pasal 20 UUPLH disebutkan:
(1) Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan hidup.
(2) Setiap orang dilarang membuang limbah yang berasal dari luar wilayah Indonesia ke media lingkungan hidup Indonesia.
(3) Kewenangan menerbitkan atau menolak permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada pada Menteri.
(4) Pembuangan limbah ke media lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi pembuangan yang ditetapkan
oleh Menteri.
(5) Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan.
Peran Pemda juga penting bertanggungjawab dalam mengatur kawasan industri.
Dalam Pasal 22 UUPLH disebutkan:
(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab
usaha dan/atau kegiatan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
(2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Menteri dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
(3) Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah
Daerah, Kepala Daerah menetapkan pejabat yang berwenang melakukan
pengawasan.
Berkaitan dengan pengawasan dalam Pasal 24 disebutkan:
(1) Untuk melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat
salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki
tempat tertentu, mengambil contoh, memeriksa peralatan, memeriksa
instalasi dan/atau alat transportasi, serta meminta keterangan dari
pihak yang bertanggungjawab atas usaha dan/atau kegiatan.
(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dimintai keterangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi permintaan petugas
pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda
pengenal serta wajib memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan
tersebut UU 23 Tahun 1997 juga menggunakan asas kerja sama (cooperation
principle) dalam upaya preventif terhadap terjadinya kerusakan
lingkungan yang tercantum pada pasal 9 ayat (2) yang berbunyi:
“Pengelolaan lingkungan hidup, dilaksanakan secara terpadu oleh instansi
pemerintah sesuai dengan bidang tugas dan tanggung jawab masing-masing,
masyarakat, serta pelaku pembangunan lain dengan memperhatikan
keterpaduan perencanaan dan pelaksanaan kebijaksanaan nasional
pengelolaan lingkungan hidup.” Pasal 11 ayat (1): “Pengelolaan
lingkungan hidup pada tingkat nasional dilaksanakan secara terpadu oleh
perangkat kelembagaan yang dikoordinasi oleh Menteri”. Juga tercantum
dalam Pasal 13 ayat (1): “Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan
lingkungan hidup, Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan kepada
Pemerintah Daerah menjadi urusan rumah tangganya.”
Asas kerjasama ini penting mengingat lingkungan hidup merupakan
permasalahan global dan lingkungan hidup adalah miliki kita bersama.
Upaya preventif juga dilakukan melalui jalur perijinan antara lain:
Pasal 15:
(1) Setiap rencana usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, wajib
memiliki analisis mengenai dampak lingkungan hidup.
(2) Ketentuan tentang rencana usaha dan/atau kegiatan yang
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta tata cara penyusunan dan
penilaian analisis mengenai dampak lingkungan hidup ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Di Indonesia Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) diatur
dalam PP No 27 tahun 1999. AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar
dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada
lingkungan hidup. AMDAL sangat diperlukan bagi proses pengambilan
keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatanyang dinilai
berpotensi berdampak negatif terhadap lingkungan. AMDAL sebagai salah
satu instrumen proses penegakkan hukum administrasi lingkungan belum
terlaksana sebagaimana mestinya. Padahal pada instrumen ini dilekatkan
suatu misi mengenai kebijakan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan.
Dalam hal perizinan juga mengatur tentang pengelolaan limbah sebagaimana tercantum dalam pasal 16-17:
Pasal 16
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatan.
(2) Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat menyerahkan pengelolaan limbah tersebut kepada pihak
lain.
(3) Ketentuan pelaksanaan pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17 :
(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun.
(2) Pengelolaan bahan berbahaya dan beracun meliputi: menghasilkan,
mengangkut, mengedarkan, menyimpan, menggunakan dan/atau membuang.
(3) Ketentuan mengenai pengelolaan bahan berbahaya dan beracun diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Upaya Hukum Kasus Pencemaran Oleh Industri Kecil Di Semarang
Dalam pasal 5 ayat (1) UUPLH mengakui hak yang sama atas lingkungan
hidup yang baik dan sehat. Di samping kewajiban dalam pasal 6 UUPLH:
(1) Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi
lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan
perusakan.
(2) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban
memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan
lingkungan hidup.
Menurut Suparto Wijoyo dengan melihat ruang lingkup pasal 5 ayat (1)
UUPLH merupakan argumentasi hukum yang substantive bagi sesorang untuk
melakukan gugatan lingkungan terhadap pemenuhan kedua fungsi hak
perseorangan termasuk forum pengadilan.
Dalam kasus pencemaran oleh kawasan industry kecil di Semarang ini
memang belum ada upaya hukum yang dilakukan. Hal ini dikarenakan
kurangnya peran pemerintah salam hal pengawasan serta belum adanya
keberanian masyarakat untuk mengangkat kasus ini. Walupun mereka
merasakan dampak negatif dari pencemaran limbah tersebut.
Namun masyarakat ataupun LSM dapat mengajukan upaya hukum dalam
menyelesaikan kasus ini. Dalam hubungan dengan Undang-Undang No. 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, penegakkan hukum
dibidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga)
kategori yaitu :
1. Penegakkan hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi / Tata Usaha Negara.
2. Penegakkan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata.
3. Penegakkan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana
Sanksi Administrasi
Dalam UU No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, salah
satu instrumen hukum yang berperan bila kita bicara tentang penegakkan
hukum lingkungan adalah hukum administrasi. Instrumen hukum
administratif berbeda dengan instrumen lainnya, oleh karena
penyelesaiannya adalah di luar lembaga peradilan. Dengan demikian,
efektivitasnya sangat tinggi dalam pencegahan perusakan lingkungan.
Sanksi administratif tercantum dalam pasal:
Pasal 25
(1) Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan
pemerintahan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk
mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi
akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan
penyelamatan, penanggulangan, dan/atau pemulihan atas beban biaya
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, kecuali ditentukan lain
berdasarkan Undang-undang.
(2) Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diserahkan
kepada Bupati/Walikotamadya/Kepala Daerah Tingkat II dengan Peraturan
Daerah Tingkat I.
(3) Pihak ketiga yang berkepentingan berhak mengajukan permohonan kepada
pejabat yang berwenang untuk melakukan paksaan pemerintahan,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Paksaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2), didahului dengan surat perintah dari pejabat yang berwenang.
(5) Tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemulihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diganti dengan pembayaran
sejumlah uang tertentu.
Berdasarkan ketentuan diatas pelanggar dapat diperingati agar berbuat
sesuai izin dan apabila tidak, akan dikenakan sanksi yang paling keras
pencabutan izin usaha perusahaan pengalengan ikan yang terbukti membuang
limbah ke pesisir Kepala Daerah dapat mengajukan usul untuk mencabut
izin usaha dan/atau kegiatan kepada pejabat yang berwenang. Selain itu
pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada pejabat
yang berwenang untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan karena
merugikan kepentingannya (lihat pasal 27 ayat 1,2,3 UUPLH). Upaya
adminisrtatif adalah upaya tercepat karena tidak memerlukan proses
peradilan. Dalam kasus pengerusakan lingkungan upaya ini terasa lebih
relevan mengingat pencemaran lingkungan hidup memerlukan upaya yang
cepat agar kerugian yang ditimbulkan tidak terus bertambah.
Sanksi Perdata
Ketentuan hukum penyelesaian perdata pada sengketa lingkungan dalam
UUPLH terdapat dalam pasal 30-39. Pada pasal Pasal 34 ayat (1) Setiap
perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau
lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu. Pada
ayat (2) Selain pembebanan untuk melakukan tindakan tertentu, hakim
dapat menetapkan pembayaran uang paksa atas setiap hari keterlambatan
penyelesaian tindakan tertentu tersebut. Selanjutnya pasal 34 tidak
menetapkan lebih lanjut mengenai tata cara menggugat ganti kerugian.
Pengaturan mengenai tanggunggugat dan ganti rugi masih berlaku pasal
1365 BW.
Syarat-syarat dalam pasal 1365 antara lain:
Kesalahan
Syarat kesalahan artinya pembuat harus mempertanggungjawabkan karena
telah melakuakan perbuatan melanggar hukum. Dalam UUPLH ini menganut
asas tanggungjawab mutlak (strict liability). Karena terjadinya
perbuatan melanggar hukum maka terjadi kesalahan dan pembuat harus
mempertanggungjawabkan. Jadi misalnya kelompok masyarakat sekitar
Pengambengan yang diwakili oleh LSM melakukan gugatan tentang perbuatan
melanggar hukum berupa pencemaran limbah, penggugat harus membuktikan
adanya kesalahan dari pelanggar.
Kerugian (Schade)
Syarat lain dalam 1365 BW adalah adanya kerugian (Schade). Dlam
syarat ini harus dibuktikan adanya kerugian yang ditimbulkan dari
pencemaran. Pada putusan MA tanggal 2 Juni 1971 Nomor 177 K/Sip/1971
disebutkan: “Gugatan ganti rugi yang tidak dijelaskan dengan sempurna
dan tidak disertai pembuktian yang meyakinkan mengenai jumlah ganti rugi
yang harus diterima oleh pengadilan tidak dapat dikabulkan oleh
pengadilan”
Mengenai Ganti Rugi juga diatur dalam pasal Pasal 34 UUPLH: ”Setiap
perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau
lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
untuk membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”
Dalam UUPLH ini menganut asas tanggungjawab mutlak (strict
liability). Pengertian tanggungjawab mutlak adalah unsur kesalahan tidak
perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti
rugi. Ketentuan ini merupkan lex specialis dalam gugatan tentang
perbuatan melanggar hukum pada umumnya.
Asas strict liability ini dituangkan dalam pasal 35:
Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang
menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah
bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas
kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara
langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup.
Hubungan Kausal
Harus ada kaitan antara perbuatan yang melanggar hukum dengan
terjadinya kerugian dengan kata lain, pembuangan limbah tersebut harus
terbukti mengakibatkan adanya kerugian pengusaha berupa kematian tambak
udang
.
Relativitas
Tuntutan supaya suatu ketentuan larangan berdasarkan unang-undang
atau suatu syarat dalam iizin dipenuhi, hanya dapat diajukan oleh
seorang yang bersangkutan atau terancam suatu kepentingan yang
dilindungi oleh ketentuan berdasarkan undang-undang atau ketentuan
perizinan. Mengenai siapa yang berhak melakukan gugatan. Masyarakat dan
Organisasi Lingkungan Hidup seperti LSM berhak untuk melakukan gugatan
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 37 UUPLH:
(1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan ke pengadilan
dan/atau melaporkan ke penegak hukum mengenai berbagai masalah
lingkungan hidup yang merugikan perikehidupan masyarakat.
(2) Jika diketahui bahwa masyarakat menderita karena akibat
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga
mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat, maka instansi pemerintah
yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup dapat bertindak untuk
kepentingan masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sanksi Pidana
Dalam pemberian sanksi pidana UUPLH 1997 menetapkan sanksi maksimum, hal terebut tercantum dalam Pasal 41:
- Barang siapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan
perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
- Dalam penerapan instrumen hukum pidana pada dasarnya bersifat
sebagai upaya terakhir (ultimum remidium), namun dalam penegakkan hukum
lingkungan tidak selamanya bersifat (ultimum remidium) karena tingkat
kerusakan lingkungan di Indonesia sudah pada tingkat memprihatinkan.
Untuk adanya perbuatan pidana di bidang Lingkungan Hidup, menurut
pasal 41 sampai Pasal 47 UUPLH ditentukan agar memenuhi syarat-syarat :
a. adanya perbuatan yang memasukkan mahluk hidup, zat, energi atau
komponen lain ke dalam Lingkungan Hidup atau perbuatan yang menimulkan
perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/ atau
hayati Lingkungan Hidup
b. adanya penurunan kemampuan lingkungan sampai tingkat tertentu
dalam menunjang pembangunan berkelanjutan atau Lingkungan Hidup kurang/
tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya
c. adanya unsur kesalahan dari perilaku baik karena kesengaajaan atau kelalaian;
d. adanya hubungan sebab akibat antara kesalahan pelaku dengan
penurunan kualitas Lingkungan Hidup sampai pada tingkat kurang / tidak
dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya;
e. kesalahan pelaku bersangkutan dimaksudkan sebagai tidak pidana
Dalam kasus Pencemaran di kawasan industri, pencemaran dilakukan
bukan oleh individu saja tetapi oleh beberapa orang atau perusahaan,
mengenai pencemaran yang dilakukan secara kolektif merujuk pada Pasal 46
UUPLH:
(1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ini dilakukan oleh
atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau
organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta
tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik
terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi
lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk
melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin
dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini, dilakukan
oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau
organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasar hubungan
kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan
badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain,
tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka
yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa
mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja
maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri
atau bersama-sama.
(3) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan,
perserikatan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan
penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat
tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.
(4) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan,
perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan
diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus
menghadap sendiri di pengadilan.
Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang ini, terhadap pelaku tindak
pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib
sesuai pasal 47 UUPLH, yaitu berupa:
(1) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
(2) penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau
(3) perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
(3) mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
(4) meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
(5) menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun
BAB III
Penutup
- Kesimpulan
Dapat ditarik kesimpulan dari pembahasan kasus diatas adalah sebagai berikut:
1.Aspek Hukum mengenai pencemaran di kawasan Lingkungan Industri Kecil
Semarang diatur dalam UUPLH No 23 tahun 1997 dan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang memberikan kewenangan yang
luas kepada Daerah Kabupaten untuk mengatur dan mengurus,dan menegakkan
hukum.
2. Upaya penegakkan hukum yang dapat dilakukan berkaitan dengan kasus
pencemaran di Lingkungan Industri Kecil adalah dengan penerapan
instrumen hukum secara Administratif, Hukum Perdata, dan Hukum Pidana.
Jika sanksi administrasi dinilai tidak efektif, barulah dipergunakan
sarana sanksi pidana sebagai senjata pamungkas.
- Saran
1. Segala bahan buangan yang beracun perlu pengolahan (treatment)
dari Lingkungan Indutri Kecil tersebut terlebih dahulu sebelum dibuang
ke perairan, dan perairan tempat pembuangan harus mempunyai kondisi
oseanografi yang memadai. Industri-industri yang mutlak harus didirikan
di wilayah ini wajib memproses bahan-bahan buangan untuk keperluan lain,
sehingga dengan demikian dampak terhadap lingkungan dapat dibatasi
2. Perlunya ketegasan pemerintah dalam menangani kasus pencemaran
lingkungan hidup. Apabila upaya admisnitratif kepada perusahaan
mencemari diberikan sanksi pidana agar memberikan efek jera kepada
pelakunya.
3. Selain kelembagaan pemerintah, peran kelembagaan legislatif,
masyarakat/LSM, serta dunia usaha adalah penting dan harus terlibat
dalam pengelolaan, utamanya pada tataran perencanaan dan
monitoring/evaluasi. Dengan demikian akan tercipta suatu pengelolaan
terpadu yang melibatkan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang
menuju ke arah pembangunan berkelanjutan.